Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

04 Mei 2009

Mendampingi Anak dengan Educational Care (Bagian 1 : Prinsip Individual Learning-Centered)

Oleh : Valentino Dhiyu Asmoro

Pada zaman seperti sekarang ini, mendampingi anak adalah urusan yang gampang-gampang susah. Menjadi gampang bila segala sesuatu yang dipersiapkan oleh orang tua mendapat respon dan hasil yang baik dari anak. Sebaliknya, pendampingan akan mengalami hambatan saat respon dan hasil dari si buah hati tidak seperti yang kita harapkan. Pada kenyataannya, seringkali hambatan dalam mendampingi anak akan berpengaruh terhadap kualitas dan prestasi belajar mereka.

Lalu sebenarnya apa masalah-masalah utama dalam mendampingi anak? Kenapa hal tersebut penting untuk kita ketahui bersama? Masalah pertama adalah masalah ruang lingkup pendampingan. Pada titik ini, perlu kita pahami bersama bahwa ruang lingkup pendampingan berbeda dengan ruang lingkup pengajaran atau ruang lingkup akademis.

Ruang lingkup pengajaran atau ruang lingkup akademis lebih bersifat kolektif (ada interaksi dalam sebuah komunitas), formal (ada peraturan dan tata cara tertentu) dan berfokus pada kemajuan kognitif yaitu kemajuan prestasi belajar dengan memacu kemampuan intelegensi anak. Sebaliknya, ruang lingkup pendampingan bersifat lebih personal-dialogis (ada kedekatan antara yang mendampingi dan yang didampingi), informal (fleksibel) dan berfokus pada kemajuan psikologis yaitu kemajuan dalam membangun SIKAP BELAJAR yang baik dan benar tanpa melupakan aspek prestasi akademiknya.

Kedua ruang lingkup tersebut sifatnya saling melengkapi dan bukannya saling bertentangan. Bila anak terlalu dijejali dalam ruang lingkup akademis maka akan timbul hukum rimba dalam dunia pendidikan yaitu hanya anak yang paling pintar sejak lahir saja yang akan mampu bertahan. Tetapi Tuhan itu memang Maha Adil. Anak yang pintar atau jenius sejak lahir jumlahnya hanya sedikit di dunia ini, tetapi dunia seakan tidak pernah kekurangan orang-orang hebat dan berprestasi.

Rahasianya adalah pada ruang lingkup pendampingan ini. Walaupun buah hati kita tidak dibekali bakat jenius sejak lahir, tetapi pendampingan yang benar akan melahirkan sikap belajar yang benar. Sikap belajar yang benar inilah yang akan menutupi kekurangan anak, memproses mental belajar yang benar dan membuat anak melahirkan prestasi yang sama hebatnya dengan anak-anak yang jenius sejak lahir. Wow, luar biasa kan? Kalau anda pernah membaca kisah Hellen Keller maka anda akan menemukan maksud dari tulisan ini.

Dalam dunia modern saat ini, ruang lingkup pengajaran atau akademis ada dalam kendali institusi sekolah. Bila anak menemui masalah akademis maka sekolah siap sedia membantu untuk memecahkan masalah tersebut. Sayangnya sekolah memiliki keterbatasan yaitu sekolah dibatasi oleh jam belajar. Di luar jam belajar, sekolah sebagai institusi tidak cukup efektif menolong masalah akademis anak, maka tidak heran kalau muncul fenomena bimbingan belajar dimana-mana (lebih sering kita kenal sebagai les). Bimbingan belajar menangkap keterbatasan sekolah ini sehingga bimbingan belajar hadir sebagai solusi pada ruang lingkup pengajaran atau akademis.

Pertanyaannya benarkah anak anda mengalami hambatan belajar selalu karena faktor akademis? Artinya anak anda kurang cerdas atau kurang memahami pelajaran di sekolah? Belum tentu. Anak-anak (terutama anak SD) umumnya masih memiliki otak yang fresh sehingga kemampuannya menyerap hal-hal baru sangat tinggi. Lalu apa masalah sebenarnya?

Dari sejak manusia pertama ada di muka bumi, ruang lingkup pendampingan telah menjadi tanggung jawab unit sosial yang paling mendasar yaitu keluarga dengan aktor utamanya adalah orang tua. Melalui keluargalah anak belajar untuk memiliki sikap belajar yang benar. Kalau kita cermati, hal inilah yang menjadi jawaban bahwa manusia purba dapat membuat alat dan kebudayaan untuk berevolusi padahal saat itu tidak ada sekolah dan bimbingan belajar seperti hari ini. Keluarga membekali anak dengan sikap belajar untuk tetap survive atau bertahan dalam kehidupan secara umum bukan hanya sekedar kehidupan akademisnya saja.

Sayangnya seiring dengan bertambahnya kerumitan hidup manusia, bertambahnya kesibukan dan tuntutan hidup, peran keluarga-keluarga sebagai unit pendampingan anak semakin hari semakin melemah. Dampaknya adalah sikap belajar anak-anak pun akan semakin melemah.

Contoh paling sederhana adalah menyontek. Anak yang menyontek menandakan bahwa anak tersebut kurang terbangun sikap sportif dan percaya diri. Sikap sportif dan percaya diri tidak dibangun dari sekedar belajar pendidikan kewarganegaraan dan permainan dalam pelajaran olahraga. Sikap sportif dan percaya diri, contohnya, dibangun saat anak melihat dan merasakan kehangatan saat bermain bersama keluarga (kalau keluarga tersebut punya waktu yang cukup untuk bermain bersama anak) atau saat ayah dan ibu menepati janji-janji yang kelihatannya sepele, tetapi sebenarnya sangat bermakna untuk anak (misalnya janji pergi liburan bersama setelah ayah dan ibu sibuk bekerja keras sebulan penuh).

Bayangkan kalau anak anda sering menyontek akan meningkatkan resikonya untuk terkena hukuman dan mendapat cap yang buruk di sekolah. Hal ini akan menimbulkan tekanan bagi anak. Nilainya pasti dikurangi karena menyontek dan dia pun akan dihina teman-temannya karena suka menyontek, sehingga anak yang seharusnya berprestasi malah justru mendapat bencana. Sekali lagi hal ini bukan karena anak anda kurang cerdas, tetapi karena tidak terbentuknya sikap belajar yang benar.

Dari paparan di atas, kita akhirnya dapat menyimpulkan bahwa ruang lingkup pendampingan adalah pondasi vital bagi kemajuan anak secara umum, bukan hanya dalam segi akademiknya saja. Pada saat ini tidaklah tepat kalau hanya menyalahkan orang tua semata, tetapi yang lebih penting lagi adalah menemukan solusi yang tepat untuk ruang lingkup pendampingan anak.

Secara konseptual, jawaban atas ruang lingkup pendampingan ini adalah dibutuhkan suatu konsep pendampingan yang terfokus pada keunikan setiap individu. Artinya setiap anak dipandang secara unik memiliki potensi, minat dan dinamika masalahnya masing-masing. Pendampingan yang dilakukan harus mengakomodasi kebutuhan tersebut.

Inilah inti pemahaman dari konsep Individual Learning-Centered sebagai prinsip pertama dari Educational Care yang kami pelopori. Individual Learning-Centered bukan dimaknai sebagai pendampingan yang bersifat individualis, tetapi sebagai pendampingan yang bersifat personal-dialogis serta terfokus untuk mengelola keunikan potensi dan dinamika permasalahan setiap individu untuk melahirkan sikap belajar yang benar tanpa melupakan pencapaian prestasi akademiknya.

Masalah pada ruang lingkup pendampingan ini tentunya tidak cukup dapat diatasi oleh sekolah atau bimbingan belajar semata karena kedua institusi tersebut lebih beroperasi pada ruang lingkup akademis. Orang tua pun tentu mengalami kesulitan dalam manajemen pendampingan anak karena di satu sisi ada tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup.

Oleh karena itu Pi&Po hadir untuk melengkapi keterbatasan-keterbatasan tersebut. Pi&Po tidak bertujuan untuk menggantikan peran sekolah dan orang tua, tetapi justru ingin semakin menyempurnakan peran keduanya. Keuntungan bagi orang tua adalah dengan menyertakan anak pada pendampingan belajar anak seperti Pi&Po maka dua hal sekaligus sudah terselesaikan yaitu pencapaian sikap belajar dan pencapaian prestasi akademis.

Dengan mempelopori munculnya prinsip Individual Learning-Centered inilah Pi&Po ingin agar anak-anak dan orang tua di seluruh pelosok negeri merasakan nikmatnya belajar dan indahnya prestasi sebagai buah dari upaya dan sikap belajar yang tak kenal kata menyerah. Salam Pi&Po !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar